Google

Wednesday, October 10, 2007


Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket

Selamat Idul Fitri 1428H
Mohon Maaf Lahr Batin






Read more !

Darah Baru
Zaim Uhrowi

Eksekutif muda itu bertanya-tanya. Di usianya, ia telah mencapai banyak hal yang tak terjangkau oleh kebanyakan orang lainnya. Kariernya berjalan baik. Ekonominya lebih dari sekadar cukup. Keluarganya harmonis. Tak ada hal yang membuatnya khawatir soal diri sendiri. Namun, ia tak dapat menutup mata atas keadaan sekitarnya. Bangsa ini masih terlilit banyak masalah dan belum bangkit dari keterpurukannya. Ketidakprofesionalan, salah urus, hingga ketidakbertanggungjawaban ada di mana-mana. Mengapa itu tak terjadi di Korea Selatan misalnya?


Pertanyaan itu terus melingkar-lingkar di benaknya. Sampai kemudian ia bertemu dengan sejumlah eksekutif Korea. Para eksekutif yang digambarkannya "muda, enerjetik, dan sangat profesional". Mereka inilah yang kini menjadi ujung tombak baru ekspansi Korea dalam bisnis dunia. Kalangan ini pulalah yang kini paling berperan dalam mengelola Korea Selatan sebagai negara. Di hadapan mereka, ia pun bertanya. "Bagaimana Korea Selatan bisa cepat bangkit dari krisis 1998?"

Hingga sekitar tahun 1960-an, keadaan Korea Selatan praktis serupa dengan kita. Kemiskinan ada di mana-mana. Park Chung-hee dengan tangan besi mengubah bangsa itu. Pada satu sisi, ekonomi dan industri memang berkembang pesat. Namun, di sisi lainnya, Park mewariskan kekuasaan yang otoriter dan bahkan kemudian korup seperti yang digambarkan oleh rezim Chun Do-hwan. Pada akhirnya gerakan politik masif juga berhasil mengakhiri kekuasaan rezim lama dari tangan Roh Tae-woo.

Ada beda mendasar perubahan politik di Korea Selatan dengan di Indonesia. Di sini, gerakan Reformasi cuma menurunkan Soeharto sebagai pemimpin tertinggi bangsa, dan mengubah sistem politik menjadi lebih demokratis. Reformasi sama sekali tidak memangkas generasi dengan pola pikir dan pola sikap lamanya. Reformasi bahkan memberi jalan pada tokoh-tokoh lama yang jauh dari profesional dan bahkan sangat feodal untuk memimpin negara hanya karena menggunakan "label demokrasi" yang sebenarnya jauh dari pola pikir dan pola sikapnya sehari-hari. Paradigma lama masih terus berkuasa. Profesionalitas tak berkembang. Korupsi justru menjadi-jadi dengan format baru yang lebih teliti.

Sebaliknya di Korea Selatan. Reformasi benar-benar memangkas pola pikir dan pola sikap lama. Bangsa itu benar-benar melakukan 'potong generasi" yang di sini tak lebih dari sekadar wacana. Para birokrat lama harus menyisih untuk memberi tempat pada generasi baru yang lebih profesional, yang meletakkan kepentingannya sendiri bukan melalui jalan korupsi atau komisi seperti di sini. Penyegaran dilakukan secara serentak. Para profesional mendapat tempat utama untuk mengelola bangsa. Bukan hanya di dunia swasta, melainkan juga di dalam pemerintahan. Hasilnya, Korea Selatan bukan hanya bangkit melainkan bahkan memantapkan diri sebagai salah satu bangsa kelas satu di dunia.

Kita, bangsa Indonesia ini, memerlukan penyegaran di seluruh lini. Di dalam birokrasi, di lembaga-lembaga kunci seperti pendidikan dan kesehatan, bahkan juga di organisasi politik dan organisasi massa. Kita memerlukan pola pikir, pola sikap, dan pola tindak baru. Hal demikian tak mungkin dilakukan tanpa adanya 'darah baru' di setiap level kepemimpinan di seluruh lembaga di negeri ini. Terutama di birokrasi dan lembaga-lembaga yang terkait dengan negara.

Kita, bangsa Indonesia ini, memerlukan Reformasi yang lebih revolusioner. Yakni, reformasi yang lebih mendasar yang menyentuh setiap aspek pengelolaan lembaga dan masyarakat dengan cara yang lebih santun dan cermat. Ini bukan mustahil dilakukan di setiap lembaga di negeri ini. Saya dan teman-teman dari manajemen PT Balai Pustaka (Persero) telah membuktikannya. Dalam waktu kurang dari tiga bulan, kami berhasil melakukan restrukturisasi total baik melalui perumusan visi, misi, dan budaya korporat baru maupun transformasi organisasi.

Darah baru terbukti mampu membangun spirit serta menumbuhkan profesionalitas kerja. Hal demikian dapat diwujudkan di lembaga manapun sehingga bangsa dapat segera bangkit menjadi salah satu bangsa utama di dunia sebagaimana semestinya bangsa yang kuat beragama. Jangan pernah mau lagi menjadi bangsa yang lembek, statis, feodal, dan bahkan korup seperti selama ini. Untuk itu, sekali lagi, seluruh institusi di negeri ini memerlukan darah baru yang dapat membawa pola pikir, pola sikap, dan pola tindak baru yang lebih benar baik menurut kaidah agama maupun profesionalitas.
(Zaim Uchrowi )





Read more !
Sumber; Republika,Jumat, 05 Oktober 2007

Berkah

Oleh : Zaim Uchrowi

Hanya dalam pengajian di masjid-masjid istilah ini masih sesekali terdengar. Dalam percakapan sehari-hari, kita hampir tak pernah lagi menyebut kata 'berkah'. Kita lebih suka bicara soal karier, rumah, mobil, bahkan telepon genggam. Apa jabatan kita, berapa banyak penghasilan kita, di mana rumah kita, seberapa populer nama kita, hingga apa merek, model, dan harga barang yang kita pakai seolah menjadi hal paling penting dalam hidup ini. Sesekali kita menggunakan istilah yang lebih abstrak ketimbang soal barang-barang itu. Misalnya, kita juga menyebut istilah 'sukses'. Tapi, lagi-lagi, sukses itu lalu kita hubungkan dengan atribut yang kita miliki.



Di saat telah lama menjauh dari peredarannya sekarang, pemunculan kata berkah mnjadi terasa menyejukkan. Pemunculan itu saya dapatkan dari Pak Iwan, seorang imam masjid sederhana yang terjadwal harus menyampaikan 'kultum' usai shalat Subuh. Ia mengutip tentang pentingnya berkah dalam kehidupan ini. Berkah itulah yang akan mengantarkan pada ketenteraman dan kebahagiaan di dunia ini. Lebih dari itu, berkah juga akan mengantarkan pada kebahagiaan di akhirat kelak.

Mendengar kembali istilah berkah, ingatan pun melayang pada beberapa nama yang saya kenal. Pada Pak Maksum, mantan tetangga misalnya. Ia tak punya rumah. Ia sempat menyewa rumah petak di tempat yang ada di belakang kompleks kami. Ia tak punya latar belakang pendidikan cukup.

Profesinya pedagang makanan. Pernah ia menjual kue putu keliling, pernah jual nasi uduk, hingga es buah. Beberapa kali usahanya bangkrut sehingga harus memulai usaha baru. Bahkan, rumah sewa yang ditempatinya digusur. Ia harus pindah rumah saat tak punya uang sama sekali. Namun, apa pun keadaan yang melingkupinya, ia selalu tampak antusias. Ia terus saja bekerja keras dan juga beribadah dengan gembira. Ia selalu mendapat jalan keluar dari kesulitan, dan mampu mengantar anak-anaknya menjadi manusia mandiri.

Keberkahan hidup juga saya rasakan pada beberapa nama yang saya kenal. Hidayat Nur Wahid, misalnya, ia tidak pernah berkasak-kusuk menjadi tokoh publik. Ia terus fokus untuk mengajar dan berdakwah. Keberkahanlah yang mengantarkannya menjadi Ketua MPR. Begitu pula Soetrisno Bachir, pedagang batik dari Pekalongan yang biasa saja pada mulanya. Namun, sejak muda ia gemar membantu orang-orang dan hal-hal baik, dan ia biasa melupakan apa yang dilakukannya. Keberkahan mengantarkannya menjadi orang penting sekarang. Di dunia hiburan, semestinya Dorce sudah lama tergusur oleh para pendatang baru. Keberkahan yang didapatnya dengan menyantuni ribuan anak yatim membuatnya terus berkibar.

Konsep berkah mengajari adanya hal di luar rasionalitas untuk meraih sukses dan bahagia. Kejar dan raih kekuatan intangible itu. Tak perlu kasak-kusuk mengejar jabatan dan uang untuk meraih sukses dan kebahagiaan. Dunia Timur mengenal urusan 'batin' selain soal 'lahir'. Bersihkan diri untuk pertajam mata batin, imbangi dengan kerja keras, maka atribut keduniawiaan akan datang sendiri tanpa kita harus menyikut kiri kanan dan menilep hal yang bukan hak kita sendiri. Dunia Barat hari-hari ini juga tengah antusias dengan kekuatan tak terukur tersebut lewat "hukum tarik-menarik" seperti yang membuat Rhonda Byrne sukses lewat buku The Secret yang ditulisnya. Bersikaplah positif, maka sikap itu akan menjadi magnet yang akan menarik hal-hal positif datang dengan sendirinya pada kita.

Prinsip itu sejalan dengan ajaran agama bahwa "Allah adalah sesuai persangkaan hamba-Nya." Bila benar-benar yakin akan memperoleh kebaikan dari Allah, maka kita akan mendapatkannya. Itu pasti. Dan apa yang akan kita dapatkan itu adalah berkah. Maka Pak Iwan, imam majid itu, pun mengutip ayat Alquran yang menyebut bahwa kunci berkah adalah keyakinan dan ketakwaan (kebersandaran) secara mendalam pada Allah. Hidup berkah adalah hidup yang setiap pertambahan kesuksesannya akan selalu membahagiakan. Baik diri sendiri, keluarga, maupun orang-orang lain di sekitar kita.

Dengan usaha bersama yang sungguh-sungguh, saya yakin, bangsa ini akan dapat menjadi bangsa yang berkah. Dengan begitu praktik menggelikan berupa kasak-kusuk untuk mendapat komisi, bahkan korupsi, atas pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya sendiri karena takut menjadi tidak kaya akan dapat berkurang secara pasti.











Read more !

 


© 2006 FE-UNS | Design by Rohman Abdul Manap
:::    Skip to top   :::

Download